Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Pelaku dan Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual terhadap anak merupakan salah satu tindak pidana yang cukup sering terjadi di Indonesia dalam kurun berapa tahun terakhir ini terutama pada tahun 2024. Fenomena anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi secara global di banyak negara.
Kekerasan seksual yang dilakukan anak terhadap anak mengalami peningkatan secara kualitatif dan kuantitatif. Data-data yang dikumpulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membuktikan argumentasi ini benar.
KPAI menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam kurun waktu 2011 hingga 2016 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak mencapai 1.965 atau sekitar 30% dari total keseluruhan kasus. Sementara itu, hasil Susenas BPS mengungkapkan, bahwa pada tahun 2014 jumlah anak korban kekerasan mencapai 247.610 jiwa. Dari jumlah tersebut diperkirakan 74.283 jiwa diantaranya adalah korban kekerasan seksual, dan Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat pada rentang Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan perhatian ekstra bagi anak yang bermasalah dengan hukum yaitu melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk melindungi hak-hak anak.
Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengatur bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.
Dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana anak pada tahun 2020, Direktur Jendral Badan Peradilan Umum mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/P.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice Di Lingkungan Peradilan Umum sebagai penguatan dalam pelaksanaan keadilan restoratif yang berdasarkan pada Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisiaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 166A/KMA/SKB/XII/2009, 148A/A/JA/12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, hak asasi manusia merupakan unsur utama yang wajib dilindungi, ditegakkan dan dipenuhi oleh negara. mengenai hal tersebut, bahwa mengenai pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh anak bagian dari penegakan hukum yang merupakan ciri negara hukum.
Peradilan pidana anak dilaksanakan tersendiri dan harus dilaksanakan penanganan secara khusus. Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Namun berlakunya Undang-Undang tersebut, tidak serta merta menghilangkan kasus kejahatan kesusilaan dimana anak sebagai pelakunya. Karena Dalam peradilan anak juga dikenal adanya sanksi tindakan dan sanksi pidana bagi pelaku. Keduanya merupakan kategori sanksi yang berbeda, Bentuk sanksi tindakan seperti menyerahkan si anak ke Balai Pemasyarakatan (Bapas), Sementara sanksi pidana bisa berupa denda. Oleh sebab itu kasus kejahatan kesusilaan dimana anak sebagai pelakunya dan anak juga tidak luput menjadi korban, sepatutnya menjadi tanggungjawab kita bersama, baik oleh aparat penegak hukum pada khususnya maupun aparat penegak hukum pada umumnya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi permasalahan hukum khususnya anak yang melakukan tindak kesusilaan adalah dengan memaksimalkan penerapan aturan hukum yang secara tegas memberikan perasaan bersalah kepada anak.
Henra P Aritonang , Penulis Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara
Nama fb : Henra Arios
no wa : 082164840131
Tulisannya keren, hasil riser..
BalasHapus